Pada masa penjajahan Jepang, umat Katolik di Tanjung Sakti dianggap sebagai antek Bendala, yang dulu menjajah Indonesia.
Akibatnya, mereka mengalami pembantaian yang mengerikan.
Romo Titus, seorang pemimpin Gereja Santo Mikael, menyatakan bahwa bekas-bekas pembantaian dan makam korban masih dapat ditemukan beberapa meter dari bangunan gereja.
Di antara makam tersebut, terdapat makam Pastur Van Camvel, Pastur pertama yang memasuki Sumatera Selatan.
BACA JUGA:Yuk Kenali Suku-Suku di Sulawesi Utara Dari Sejarah, Budaya, dan Keunikan
Penyebaran Agama Katolik di Tanjung Sakti
Wilayah penyebaran agama Katolik di Sumatera Selatan dimulai dari Padang, Sumatera Barat, melalui Bengkulu, dan mencapai Tanjung Sakti.
Tanjung Sakti direncanakan sebagai pusat pemerintahan Bendala karena perkembangan agama Katolik yang pesat di daerah tersebut.
Meskipun jumlah jemaat saat ini mencapai sekitar 400 orang, mereka tersebar di Tanjung Sakti Pumi dan Pumu.
BACA JUGA:10 Benda Peninggalan Bersejarah Dan Melegenda Dari Kerajaan Sumatera Selatan, Nomor 7 Bikin Kaget!
Semangat Toleransi dan Kerukunan
Meskipun menyimpan tragedi pembantaian, Tanjung Sakti juga dikenal karena tingginya toleransi antar umat beragama.
Masyarakat setempat saling menghargai dan menerima keberadaan umat agama lain, membangun hubungan sosial yang baik di tengah keragaman agama.
Penjagaan nilai-nilai luhur toleransi dan kerukunan ini menjadikan Tanjung Sakti sebagai tempat yang damai dan harmonis untuk beribadah serta berinteraksi sosial.
Gereja Santo Mikael di Tanjung Sakti adalah salah satu saksi bisu perkembangan agama Katolik di Sumatera Selatan.
BACA JUGA:Mengenal 4 Senjata Khas Sumatera Selatan yang Bersejarah, Diantaranya Ada Kudok Pasemah!