Gejalanya mirip dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD) pada manusia dan penyakit sapi gila (BSE) pada hewan.
Pada tahun 1957, seorang dokter Australia bernama Vincent Zigas menjadi yang pertama kali menemukan adanya penyakit kuru pada suku Fore.
Ia bekerja sama dengan antropolog Amerika, Shirley Lindenbaum, untuk mempelajari suku ini dan tradisi kanibalisme yang mereka praktikkan.
Mereka menemukan bahwa penyakit kuru lebih banyak menyerang perempuan dan anak-anak daripada laki-laki.
BACA JUGA:Destinasi Seru Keluarga di Purwokerto Dari Jermangis, Curug Bayan, dan Lebih Banyak Lagi
Hal ini karena perempuan dan anak-anak sering mendapatkan bagian otak, hati, dan ginjal dari mayat yang dimakan, sedangkan laki-laki cenderung memakan bagian otot.
Pada tahun 1961, ahli biokimia Amerika, Carleton Gajdusek, berhasil mengisolasi prion penyebab kuru dari otak penderita.
Ia juga berhasil menularkan penyakit kuru ke monyet melalui eksperimen dengan menyuntikkan ekstrak otak penderita ke otak monyet.
Atas penemuan dan eksperimennya, Gajdusek dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1976.
BACA JUGA:Nikmati Libur Tahun Baru di Sulawesi Barat yang Mliki 5 Destinasi Wisata yang Cantik
Setelah mengenali akar penyebab penyakit kuru, pemerintah Papua Nugini mengambil langkah tegas untuk mengatasi wabah ini.
Sejak tahun 1960-an, mereka telah melarang praktik keras kanibalisme di suku Fore dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit kuru.
Akibatnya, jumlah kasus kuru menurun drastis dari ratusan menjadi hanya beberapa per tahun.
Meskipun upaya pencegahan telah berhasil mengurangi kasus penyakit ini, masih ada kemungkinan adanya kasus baru di masa depan karena masa inkubasi yang panjang.
BACA JUGA:Rekomendasi Libur Tahun Baru! Ini 5 Daftar Lokasi Wisata Memukau Di Sulawesi Barat
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa tradisi dan budaya suatu kelompok masyarakat dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.Kasus kuru di suku Fore adalah contoh nyata bagaimana tradisi budaya dapat