PAGARALAMPOS.COM – Kisah bersejarah antara Pangeran Trunojoyo dari Madura dan Raja Amangkurat II dari Mataram merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia.
Pangeran Trunojoyo, keturunan Sultan Agung dari Mataram dan anak dari Raden Demang Melayukusuma, merupakan tokoh penting dalam sejarah Madura.
Ia menjalani periode pemerintahannya sebagai Gubernur Madura untuk Mataram dari tahun 1647 hingga 1707.
Sebaliknya, Raja Amangkurat II adalah penguasa Mataram yang dikenal dengan kebijakan-kebijakan keras dan sering dianggap brutal selama pemerintahannya antara tahun 1677 dan 1703.
Kisah terkenal mengenai Amangkurat II melibatkan hukuman mati terhadap Trunojoyo.
Kapten Jonker, seorang perwira dari Kompeni Belanda, menyatakan penyesalannya atas tindakan Amangkurat II yang dianggapnya tidak bermoral.
Ia mengkritik tindakan Amangkurat II dan mencatat bahwa perilaku sang raja mencerminkan kurangnya kebesaran hati.
Kapten Jonker, yang merupakan seorang Muslim Ambon yang bertugas untuk menangkap Trunojoyo, menjamin keselamatan Pangeran Trunojoyo jika ia bersedia menyerahkan diri.
Trunojoyo memutuskan untuk menyerah pada 27 Desember 1679, tiga tahun setelah Amangkurat II naik tahta. Ia bersedia menyerahkan diri hanya kepada Jonker dan bukan kepada Amangkurat II.
Namun, setelah penyerahan diri, Trunojoyo diperlakukan secara buruk dan tangannya dibelenggu, yang dianggap Jonker sebagai perlakuan yang tidak adil mengingat statusnya sebagai tawanan perang.
Jonker merasa tindakan tersebut mencerminkan kekurangan kebesaran hati seorang raja.
Kecewa dengan penanganan kasus tersebut, Jonker akhirnya keluar dari ketentaraan Kompeni dan menjadi penentang mereka.
Pada tahun 1689, Jonker dihukum mati oleh Kompeni sebagai akibat dari tindakannya tersebut.
Kisah ini mencerminkan ketegangan antara prinsip-prinsip kehormatan dan kekuasaan serta dampaknya terhadap individu yang terlibat dalam konflik tersebut.