PAGARALAMPOS.COM – Meski dalam takaran tertentu saat itu Jepang memang sedang ‘dijajah’ Barat.
Tapi bukan berarti apa yang terjadi saat itu mirip dengan bagaimana orang Indonesia bersama-sama memperjuangkan tradisi dan kemerdekaannya sebagai bangsa.
BACA JUGA:Ruslan Abdulgani Terpilih Secara Aklamasi Sebagai Ketua Kosgoro Kota Pagaralam
Samurai di abad ke-19, latar yang diangkat dalam ’The Last Samurai’ bukanlah lagi samurai yang ada dalam bayangan populer sebagai sosok petarung yang mengusung kode etik.
Setelah melalui masa damai selama 200 tahun, samurai di masa ini adalah sosok pejabat, birokrat, pemungut pajak, dan tuan tanah.
Sebab itu, sebagaimana banyak pejabat dan birokrat di masa kini;
Banyak samurai yang menjelma jadi sosok yang korup, egois, dan meraup keuntungan demi dirinya sendiri.
Di abad ke-19, tidak sedikit samurai yang tidak lagi peduli dengan kode etik atau ‘bushido’ sebagaimana digambarkan di film.
BACA JUGA:Undercover Indonesia! Suku Pedalaman Papua, Salah Satunya Suku Kanibalisme Terakhir di Dunia
Dan sebagaimana politisi yang sering bersitegang perkara politik, begitupula dengan samurai di abad ke-19.
'Pemberontakan Satsuma' yang diangkat dalam film ini adalah akibat dari perseteruan politik tersebut.
Dalam film digambarkan perang ini digambarkan sebagai perang antara samurai yang mempertahankan tradisinya melawan kekuatan asing.
BACA JUGA:Sejarah Unik Suku di Jambi, Kamu Wajib Tau
Tapi kenyataannya, lebih tepat bila disebut bahwa pemberontakan ini adalah perang antara bangsawan lama yang mulai kehilangan kekuasaannya, dengan pemain-pemain baru –berada di pemerintahan– yang bekerjasama dengan asing.