Sejak saat itu, mereka menjadi suku terasing yang masih eksis hingga saat ini.
Kawasan hutan pedalaman Provinsi Gorontalo, seperti Boliyohuto, Paguyaman, dan Suwawa, telah dihuni suku Polahi sejak abad ke-17.
Istilah “Polahi” dalam bahasa Gorontalo berasal dari kata “Lahi-lahi” yang artinya melarikan diri atau melarikan diri.
Menurut catatan sejarah yang ada, suku Polahi sebenarnya adalah warga Gorontalo yang melarikan diri ke hutan karena pemimpin mereka di masa penjajahan Belanda tidak mau ditindas oleh penjajah.
BACA JUGA:Terkuak, Rupanya Begini Sejarah Lengkap Tentang Istana Dalam Hutan Jati Lamongan
Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang secara harfiah berarti "pelarian".
Keadaan tersebut mempengaruhi kondisi suku Polahi dengan kehidupan di dalam hutan.
Meskipun Indonesia telah merdeka, sebagian keturunan Polahi masih memilih tinggal di hutan.
Sikap anti penjajah tersebut turun-temurun dan menyebabkan orang Polahi menganggap orang dari luar suku mereka sebagai penindas dan penjajah.
Namun, yang membuat suku Polahi semakin unik adalah keberlangsungan tradisi perkawinan sedarah dalam budaya mereka.
Berbeda dengan sistem perkawinan umum di mana dua individu dari keluarga yang berbeda menikah tanpa ikatan darah, suku Polahi memiliki budaya sistem kawin sedarah atau sistem perkawinan inses.
Perkawinan sedarah di suku Polahi memungkinkan anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga yang memiliki ikatan darah.
Seperti antara ibu dan anak laki-laki, bapak dan anak perempuan, atau saudara laki-laki dan saudara perempuan.
BACA JUGA:Waduh, Siapa Diserang, Korea Utara Luncurkan Rudal Jelajah Dari Kapal Perang
Sistem ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan masih dipraktikkan hingga saat ini, meskipun dianggap tidak biasa atau bahkan aneh oleh budaya umum.