Pada tahun 1900, penganut Katolik di Tanjung Sakti berjumlah 500 orang, sedangkan di Palembang hanya 80 orang yang mayoritas adalah orang Eropa.
Apalagi Injil sudah diterjemahkan dalam bahasa daerah dan tersebar di wilayah Manna yang dibatasi langsung dengan Tanjung Sakti.
--
Romo Titus, seorang pemimpin Gereja Santo Mikael, mengungkapkan bahwa sisa-sisa pembantaian dan pembantaian korban makam-makam masih dapat ditemukan beberapa meter dari bangunan gereja.
Di antara makam tersebut, terdapat makam Pastur Van Camvel, yang merupakan Pastur pertama yang memasuki Sumatera Selatan.
BACA JUGA:Banjir Penemuan Menghebohkan Di Gunung Padang, Lalu Siapakah Bangsa Yang Dulu Ada Disana?
Wilayah penyebaran agama Katolik dimulai dari Padang Sumatera Barat, melalui wilayah Bengkulu, dan kemudian sampai ke Tanjung Sakti.
Saat itu, Tanjung Sakti direncanakan sebagai pusat pemerintahan Bendala karena perkembangan agama Katolik begitu pesat di daerah tersebut.
Meskipun saat ini jumlah jemaat mencapai sekitar 400 orang, mereka telah tersebar di Tanjung Sakti Pumi dan Pumu.
Meskipun menyimpan cerita tragedi pembantaian, Tanjung Sakti juga dikenal karena tingginya toleransi antar umat beragama.
BACA JUGA:Ubah Gaya Rambut dengan Model yang Sesuai Wajahmu, Ini Pilihannya
Hal ini telah terjadi sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Masyarakat di Tanjung Sakti saling menghargai dan menerima kehadiran umat agama lain, baik itu umat Katolik, umat Muslim, atau yang lainnya.
Di wilayah ini, berbagai peninggalan zaman penjajahan seperti piano, buku, dan makam-makam tua masih terawat dengan baik.
Semangat toleransi dan kerukunan antar umat di Tanjung Sakti merupakan salah satu nilai luhur yang harus dijaga dan menjadi teladan bagi masyarakat di daerah lain.
Dengan tetap menghargai dan menghormati perbedaan, Tanjung Sakti telah menjadi tempat yang damai dan harmonis untuk beribadah serta menjalin hubungan sosial yang baik di tengah keragaman agama.*