PAGARALAMPOS.COM – Film ini pun memanfaatkan kekompakan mereka, sesekali menghadirkan tawa di tengah aksi Holmes menghentikan aksi kejahatan Moriarty.
Duet kocak dengan chemistry yang pas, setidaknya film ini punya bagian yang pantas dikatakan sebagai hiburan.
Tidak semua bagian di ‘Sherlock Holmes: A Game of Shadows’ itu membosankan.
Film ini punya kelebihan lain yang menarik, porsi action-nya tambah banyak dan selalu sukses menghadirkan ketegangan, membangunkan adrenalin yang sebelumnya tertidur dan ikut bermain bersama Holmes.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Seni Tertua di Indonesia, Memahami Keindahan Warisan Budaya Kuno
Perhitungan Holmes yang selangkah lebih maju, yang kerap divisualisasikan dengan slow-motion pun masih dimunculkan di sini, bersama dengan aksi slow-mo lainnya juga jadi atraksi yang membuat kita ‘bertahan’ sampai film ini selesai.
Untuk lebih memanjakan mata, film ini juga tampil lebih stylish, flamboyan, setting yang juga lebih artistik, yang oleh Philippe Rousselot mampu dipotret dengan baik.
Dan hasilnya, sinematografi yang tidak mengecewakan. Sama seperti apa yang dia hasilkan pada film pertama.
BACA JUGA:Perspektif Pembangunan Sentra Budaya dan Seni Pagaralam
Tata musik arahan Hans Zimmer juga lebih sering terasa bagaikan versi lembut dan kurang menggugah dari tata musik yang dahulu ia buat untuk seri sebelumnya.
Sherlock Holmes: A Game of Shadows mungkin mampu tampil unggul dalam tampilan visual dan efek serta penampilan para pemerannya yang meyakinkan.
Bagaimana pun juga Sherlock Holmes: A Game of Shadows hanyalah sebuah film Hollywood yang berambisi untuk mengeruk untung besar dari sekuel.
BACA JUGA:Bingkai Budaya, Mengenal Kekayaan 14 Sastra Besemah Lama Warisan Leluhur
Terkadang isi cerita tidak diperhatikan, menjejalkan kita dengan action yang lebih banyak, tapi justru melupakan esensi sebuah film detektif.
Hingga misterinya terlalu digampangkan, dan pemecahan misteri tersebut juga tidak menantang penonton untuk ikut berpikir.