Potensi Luar Biasa, Hendrik van Dermak Mendorong Pertumbuhan Industri Kopi di Pagar Alam

Senin 01-05-2023,03:30 WIB
Reporter : Pidi
Editor : Jukik

“Mutigh (memetik) kawe, nanam kawe dan njemugh (jemur) kawe, itu sering didengar.

Jarang kalau ada yang mutigh kopi, nanam kopi, dan njemugh kopi,” ujar dosen yang meraih gelar doktor dari UI Depok ini. 

Begitu jadi bubuk,barulah kata kopi digunakan. Maka, minum kopi lebih enak didengar ketimbang minum kawe. 

BACA JUGA:Akulturasi Budaya Islam dan Besemah: Saling Melengkapi, Saling Mewarnai

“Perbedaanya ada pada pemakaiannya saja. Kawe dipakai ketika masih berbentuk buah sampai biji. Begitu jadi bubuk minuman, namanya kopi,” terang Suhardi. 

Adapun Efvhan Fajrullah SPd, Copy Editor Pagaralam Pos, mengatakan, untuk membedakan kawe dan kopi bisa dibedah dari segi epistomologi.

Kawe ujar Bang Vhan -sapaan akrab Efvhan Fajrullah- adalah kata benda. Karenanya tepat jika kawe ditujukan kepada buah kopi.

Adapun kopi adalah kata kerja yang tepat disandingkan dengan kalimat ajakan seperti “Palah ngupi kudai (ayo minum kopi dulu)”. 

BACA JUGA:Banyak Yang Belum Tahu! Ternyata Begini, Sejarah Menyebarnya Pemukiman Penduduk di Kota Pagar Alam

Mungkin itulah sebabnya jarang terlihat kedai menggunakan kata kawe, baik di toko maupun di brosur menunya.

Kedai Kopi Asmara yang berada di kawasan Swakarya ini misalnya. Dinding kedai yang berkelir putih ini tertulis kata-kata yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut, ‘Karena kopi tak pernah memilih kepada siapa dia jatuh cinta’. 

Mungkin janggal kalau tulisan ini dibikin menjadi seperti ini: ‘Karena kawe tak pernah memilih kepada siapa dia jatuh cinta’.*

Kategori :